MY LIFE NOW
Refine Search
Hubungan Emosional Dengan Uang
Pernahkah Anda membicarakan hal mengenai uang dengan orang lain? Dengan siapa Anda senang membicarakannya? Dan sejauh apa Anda membicarakannya dengan orang tersebut?
Bagaimana Anda mendapatkan uang, bagaimana Anda membelanjakan uang, bagaimana uang mempengaruhi hubungan – hubungan Anda, pertemanan Anda, karir Anda?
Apa yang menyebabkan terjadinya hubungan emosional dengan uang dalam diri seseorang? Dan bagaimana sebaiknya hubungan tersebut berjalan? Jika memang ada…
Beberapa klien dan teman saya bercerita bahwa, seringkali ketika orang membicarakan tentang uang dengan orang lain yang muncul adalah perasaan bahwa mereka sedang dibanding – bandingkan, perasaan bahwa uang yang mereka dapatkan adalah cerminan dari prestasi mereka, kekuatan mereka, kebahagiaan mereka, kepintaran mereka. Semakin besar uang yang ada di dalam rekening mereka maka mereka semakin percaya diri dan bangga, semakin besar gaji yang mereka terima dari pekerjaan mereka maka semakin besar perasaan lebih berkuasa yang muncul dalam diri seseorang. Dibanding jika uang yang didapat itu lebih kecil dari orang lain, jika uang dalam rekening lebih sedikit dibanding teman – teman yang lain.
Mengapa perasaan atau anggapan seperti itu bisa muncul dalam diri seseorang atau masyarakat kita? Dari sejak kecil kita telah diberitahu untuk tidak memberitahu orang lain tentang berapa jumlah uang yang kita miliki atau dapatkan, sebabnya bisa karena berbagai hal. Seperti misalnya, mengundang kecemburuan social, memancing tindak kejahatan dari orang yang mendengar atau mengetahui keuangan kita, ada perasaan malu dan tidak berharga jika penghasilan kita lebih kecil dari orang lain yang kita kenal, dan berbagai sebab lainnya. Mungkin Anda juga sering mendengar seseorang berkata, “Wah, saya gak akan sanggup deh bayar makanan di restoran itu, mahal sekali.” Atau “Gak mungkin saya bisa beli rumah di daerah itu, terlalu tinggi harganya buat orang seperti saya…Gak usah mimpi deh!”
Mengapa hal – hal itu diucapkan oleh seseorang? Mengapa ketika ada orang yang membicarakan tentang uang atau kekayaan hal itu menjadi terkesan materialistic? Terkesan merendahkan orang lain yang mendengarnya yang mungkin kebetulan saja memiliki penghasilan lebih kecil dari yang dibicarakan? Terkesan bahwa Anda lebih baik dari orang lain? Atau malah seolah – olah menimbulkan kesan bahwa orang yang membicarakan uang tersebut sedang meminta nasihat untuk mendapatkan uang lebih banyak?
Sekarang, semakin kita bertambah dewasa, kita semakin menyadari bahwa angka penghasilan yang kita dapatkan sebenarnya bukanlah cerminan dari popularitas kita, kebahagiaan kita, kekuasaan atau kepintaran kita. Bahkan malah hal itu tidak berarti apapun. Karena ada juga orang – orang yang kita temui tetap bisa menjadi bahagia, banyak teman, berhasil dalam pekerjaannya, punya keluarga yang penuh sukacita meskipun penghasilan yang mereka dapatkan dan uang yang mereka miliki tidak sebesar orang – orang lainnya.
Ternyata dalam hidup ini ada “mata uang – mata uang” lainnya yang lebih berharga. Seperti cinta kasih, kesehatan, waktu, pertemanan, kebebasan, hasrat atau keinginan, dan juga tujuan hidup. Sayangnya, sebagian besar dari kita tidak melihat bahwa selama ini ada begitu banyak “mata uang” yang kita korbankan demi mendapatkan mata uang yang kita kenal, yang kita kejar untuk masuk ke dalam rekening kita, kantong kita. Dan kemudian tanpa sadar kita memakai jumlah dan besaran uang yang kita punya sebagai ukuran dalam hal apapun kehidupan kita. Pada akhirnya kita belajar bahwa bukan berapa banyak atau berapa sedikit yang Anda miliki, melainkan adalah bagaimana uang bekerja untuk Anda, apa yang Anda rasakan mengenai hal tersebut.
Ketika Anda membicarakan tentang uang dengan seseorang yang memang dapat mengelola uang dengan baik maka dapat Anda temukan bahwa sesungguhnya orang itu tidak dikendalikan oleh uang yang dimilikinya, tetapi orang tersebut dapat menggunakan uang dan penghasilan yang dia peroleh dengan baik dan bijaksana untuk mendukung tujuan hidupnya. Uang dapat Anda pergunakan untuk dapat membangun keakraban dengan pasangan hidup Anda, keluarga Anda, partner bisnis Anda, rekan sekerja Anda. Orang – orang semacam ini tidak canggung dengan berapapun besarnya uang yang mereka miliki, dengan siapapun mereka bergaul, bagaimana mereka membelanjakan uang tersebut, dan lain sebagainya. Dengan kata lain ketika kita memiliki mental yang kuat dan tujuan yang jelas dalam hidup kita, maka secara otomatis ketika berhubungan dengan uang kita dapat mengendalikannya secara emosional, dan bukan kita yang dikendalikan oleh uang dengan segala persepsi orang lain tentangnya.
David Pratomo - 2020
KRISIS
Tak seperti biasa, menjelang pagi, Boleng, tetangga kami, mengetuk pintu pagar. Pompa air di rumahnya ngadat. Dia butuh air wudhu, untuk sholat subuh. Tentu saja kami welcome dengan kehadirannya di pagi buta itu. Dia sangat membutuhkan air bersih. Mungkin tidak hanya untuk wudhu, tapi juga minum dan mandi. Sebetulnya, bukan pompanya yang rusak, tapi air sumurnya kering.
Seperti biasa, setiap musim kemarau, banyak tetangga kami yang kekeringan. Diperlukan usaha ekstra untuk mendapatkan air bersih. Biasanya, 1-2 bulan kekeringan berlangsung dan sumur kembali normal, saat musim hujan tiba kembali.
Orang bilang, kampung kami terkena “krisis air”. Banyak keluarga menderita karenanya, dan itu terjadi nyaris setiap tahun. Keluarga Boleng menjadi salah satu korban dari “krisis” itu. Sampai-sampai dia kesulitan menjalankan ibadah sholat subuh. Tapi, apa benar bahwa itu suatu “krisis”? Mari kita simak bersama.
Seeger, Sellnow, and Ulmer (1998) membuat kriteria tentang sesuatu yang layak disebut krisis. Ia harus memenuhi 3 hal, yaitu bila kejadian itu tak disangka-sangka, melahirkan ketidak-pastian, dan mengancam keberhasilan mencapai tujuan dan keberlangsungan hidup sebuah organisasi atau individu.
Bila Boleng dan banyak tetangga mengalami “krisis air” setiap musim kemarau, jelas tak memenuhi kriteria Seeger dan kawan-kawan. Mereka tahu bahwa sumurnya akan kering. Unsur “tak disangka-sangka” tak dipenuhi. Bandingkan dengan seseorang yang tiba-tiba didiagnosa kanker. Ia masuk dalam kriteria untuk disebut krisis. Contoh lain adalah bila sebuah daerah, tiba-tiba terkena bencana alam seperti gempa bumi atau angin topan.
Kembali ke kampung kami. “Krisis air” yang menyerang tiap tahun sangat mudah ditebak datangnya. Ia mampir setiap tahun dengan magnitude yang semakin lama semakin besar. Sebagian penyebabnya terjadi karena perilaku penduduk yang mendukung terjadinya “krisis”. Kami tak menyisakan lahan hijau, tak membuat sumur resapan, drainage kacau, dan tak punya aturan soal pengelolaan sampah. Kami tahu persis bahwa itu semua akan bermuara pada keringnya sumur-sumur kami. Tapi semua orang berpikir apa urusannya dengan saya, kalau banyak orang juga melakukan hal yang sama.
Rasa acuh terhadap sebab datangnya “krisis”, tak hanya dimiliki Boleng. Bila hari ini kita, sebagai bangsa, sedang menghadapi “krisis ekonomi”, atau “krisis moneter”, “krisis lalu-lintas”, atau “krisis efek rumah kaca” atau “krisis-krisis yang lain”, maka itu semua sebetulnya tak termasuk dalam kriteria krisis yang dibangun oleh Seeger. “Krisis” tak bisa disebut krisis bila ia dapat diramalkan sebelumnya. “Krisis” tak datang menyergap bahkan sering sudah diketahui kapan ia datang dan bakalan merusak hidup kita. Sebagian besar “krisis-krisis” itu malah disebabkan oleh perilaku kita, sendirian atau bersama-sama.
Reaksi yang biasa muncul secara otomatis adalah suatu self defense mechanism. Lebih parah lagi, sikap saling menyalahkan kemudian bersliweran di antara sesama penderita.
Mungkin maksudnya tak jelek. Mereka mencoba saling mengingatkan, namun dengan cara yang kurang tepat. Dipikir, kesalahan yang hanya dilakukan oleh satu-dua orang adalah penyebab utama “krisis” itu berlangsung. Padahal, tidak ada “krisis” yang disebabkan oleh satu sebab dan satu pelaku. Pada umumnya ia merupakan resultante dari beberapa sikap individu-individu yang kontra produktif yang dikeluarkan secara terus menerus dan bersama-sama.
“Krisis” hanya dapat diatasi bila semua penderita mau bersatu padu dan berpikir positif. Sadari, sedikit atau banyak, individu-individu yang terlibat di dalamnya urun cikal-bakal mengapa “krisis” terjadi. Keadaan menjadi (sangat) sulit kalau para penderita “krisis” terlanjur mempunyai sikap “lempar batu sembunyi tangan”, seraya mengumpat “ini gara-gara lu”.
Satu lagi yang harus dicatat adalah pendapat seorang ahli ekonomi, Dani Rodrik dari Harvard Kennedy School, yang dikutip Muhamad Chatib Basri di harian Kompas, 27 Agustus 2015. Kualitas Sumber Daya Manusia merupakan hal utama dan pertama untuk bangkit dari “krisis”, selain tata-kelola organisasi dan peningkatan produktivitas. SDM yang berkualitas tinggi mempercepat dan memudahkan masyarakat keluar dari “krisis”. Sebaliknya, SDM yang berkualitas rendah menjadi sebab “krisis” cepat menjangkit dan lama untuk beringsut pergi.
Meski tak langsung, Rodrik menyarankan agar Boleng tak mengeluh dan menyalahkan tetangga sebelah yang menyedot dan mengeringkan air sumurnya. Atau menghujat pak RT karena lho lhak lho lhokmengelola kampung. Toh pak RT tak bisa menjadi tukang sulap seperti Deddy Corbuzier, yang tiba-tiba, membuat sumur sekampung tiba-tiba berair. Lebih baik Boleng introspeksi sambil terus berpikir, apa yang membuat sumurnya kering dan bagaimana caranya agar cepat-cepat berair kembali. Para tetangga mesti kompak melakukan itu, agar “krisis” cepat pulih dan, yang paling penting, tidak melanda kembali tahun depan. Itu yang dibutuhkan, yaitu perilaku positif dan suportif.
“Krisis” tak datang begitu saja. Dengan nada canda, mantan menlu Amerika Henry A. Kissinger, pernah berujar bahwa manusia bisa menghindar dari “krisis”, bila tahu cara menghadapinya. Tak ada waktu memikirkan “krisis”, karena ia selalu harus diantisipasi kedatangannya. “There cannot be a crisis next week. My schedule is already full”.
Sementara sahabat muda saya, Alen Gombang, sepakat dengan Dani Rodrik bahwa semua masalah, termasuk “krisis”, bisa diselesaikan, bila manusia, secara bersama-sama, berusaha sekuat tenaga untuk mengubah musibah menjadi anugerah. Dia mengutip Surat Al-Ra’d 11 :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”.
PM.Susbandono - 2015
Melbourne
Namanya Husein, lebih suka dipanggil Bill. Sopir taxi “Yellow Cab”, Di Melbourne, Australia. Handsome dan rapi, untuk usianya yang sudah menginjak setengah baya. Keturunan Turki, berwarga-negara Australia, berimigrasi sejak 15 tahun lalu. Bill termasuk fast driver, mengemudi dengan kecepatan tinggi, meski tetap safe. Dia ramah, correct dan talkative.
Keramah-tamahannya menjadi-jadi saat tahu, kami bertiga dari Indonesia. Entah mengapa, Bill suka dengan kami, suka Indonesia. Dia langsung memakai julukan sisterdan brother. Kepada Wulan, Bill memanggil my daughter. Sepanjang jalan dia terus cerita tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang Melbourne, tentang Australia dan tentang Turki. “Saya tak suka pemerintah Turki sekarang, yang puritan dan ekstrem. I love Mustafa Kemal Atatürk. He is a great leader, like Sukarno”. Diam-diam saya bangga mendengarnya. Kami sedang naik taxinya, menuju Werribee Zoo, kebun-binatang terbuka, kira-kira 40 km dari pusat kota Melbourne.
Tiba di lokasi, Bill menawarkan diri menunggu di sana sampai kami selesai wisata. “Kalian sulit mendapatkan angkutan umum ke kota. Saya akan menunggu sampai selesai”. Saya baru ngeh kalau kami berada di pinggir kota yang sepi. Usulan simpatik Bill langsung diterima.
Saya tak ingin menceritakan apa dan bagaimana Werribee Zoo. Kebun binatang yang biasa-biasa saja, jauh lebih sederhana dari Taman Safari, Puncak. Kebaikan hati dan keramahan Bill lebih menyita perhatian kami, ketimbang koleksi binatang dan pemandangan Werribee.
Singkat kata, kami kembali ke Melbourne setelah 2 jam sight seeing di sana. Bill tertidur di kursi kemudi, ketika kami bangunkan. Dengan sigap memacu taxinya kembali menuju Melbourne.
Sesaat sebelum masuk kota, Bill mematikan argometernya. Layar menunjukkan angka 52.60. Sampai di titik itu, kami harus membayar AUD 52.60. Masih sekitar AUD 25 lagi untuk sampai ke tengah kota. Namun kalimatnya menyentak kami. “Oke, cukup bayar sejumlah itu. Terlalu banyak kalau kalian harus bayar sampai di tengah kota”.
Beberapa kali kami menanyakan maksud kalimat tadi. Tapi, Bill tak mengubah maksudnya. Kami mendapat discount membayar ongkos taxi. Saya tak tahu alasannya mengapa dia sebaik itu. Belum pernah saya mendengar seorang sopir taxi mematikan argometernya di tengah jalan. Semata ingin memberikan potongan-harga kepada penumpangnya. Kami seperti mimpi, ketika mengalaminya. Bukan soal jumlah dolarnya, tetapi kelangkaan sikapnya yang mengagetkan kami. Kemudian kita berpisah. Dia sempat meninggalkan nomer telepon untuk sewaktu-waktu bisa menghubunginya, bila kami membutuhkan.
Tokoh kedua masih seputar pengemudi angkutan umum di kota Melbourne. Saya tak sempat mencatat namanya. Dia sopir bis wisata, berwarna merah tua, “Melbourne Visitor Shuttle Bus”.
Sore itu, kami bermaksud naik bis di depan kompleks Royal Botanic Gardens. Ada mesin vending di pinggir halte. Melihat kami mau memasukkan kartu pra bayar, sang sopir bergegas turun.
“Sebaiknya kalian menunggu 30 menit setelah bis ini berangkat. Bis ini bayar, tapi setelah ini, kalian akan mendapatkan bis yang gratis”.
Setelah membaca keterangan yang tertulis di vending machine, kami mahfum akan aturan main yang ada. Harga tiket sebesar AUD 10, berlaku 2 hari. Dengan catatan, 3 bis terakhir di sore hari, for free. Kalau kami naik bis tadi, hitung-hitungannya kami rugi, karena hari pertama sudah akan berakhir, sementara sebentar lagi bis gratis segera beroperasi. Mendengar kata gratis, layaknya orang Indonesia, kami gembira bukan alang kepalang. Sore itu kami kembali tertegun. Bertemu lagi dengan “orang baik” di tengah kota metropolitan yang hingar-bingar.
Bukan soal untung-rugi yang ingin saya catat. Sikap si bung sopir bis merah, tanpa nama tadi, membuat kami speechless. Dia mau repot-repot turun dari kursinya untuk memberi tahu 3 turis norak, dari Indonesia, yang akan dirugikan - atau lebih tepatnya - tidak diuntungkan, bila tak mau menunggu 30 menit. Apa salahnya kalau dia mendiamkan kami membeli tiket dan naik bisnya? Apa urusannya? Apa ruginya? Apa untungnya? Rasanya tidak ada.
Bill Husein, sopir taxi, dan si bung, sopir bis wisata tanpa nama, yang baik hati adalah cetusan kepedulian dari pelayan publik di sebuah masyarakat madani. Di sana tercampur profesionalisme yang tinggi dan sikap melayani yang tulus. Mereka merasa itulah kewajibannya.
Dua manusia dari banyak manusia yang kami jumpai di Melbourne, memberi impresi yang mendalam. Dua minggu lalu, Melbourne bukan tempat yang nyaman untuk berwisata. Di sana sedang musim dingin. Orang mengatakan tahun ini adalah bad winter. Tapi, “kekejaman” temperatur dan alam Melbourne berubah menjadi bersahabat, saat bertemu orang-orang seperti Bill dan si bung sopir bis merah. Kebekuan alamnya dihangatkan oleh sapaan dan kasih mereka. Pesan yang kami tangkap, jangan pernah patah arang, masih banyak “orang baik” di dunia ini.
Kisah ini kurang lengkap kalau tidak bercerita tentang sholat Ied di Konsulat Jenderal RI, di Melbourne. Lebaran hari pertama, keluar dari hotel pukul 07.00. Tentunya dilengkapi “pakaian tempur” berlapis-lapis yang memberatkan tubuh, menyulitkan bergerak, apalagi berjalan. Tapi suhu udara sedang tidak main-main. Tiga derajat Celsius plus hujan gerimis dan angin membuat tulang manusia tropis, terasa ngilu.
Payung yang sebentar-bentar tertiup angin, menambah kesulitan mengejar dan naik TRAM, yang di beberapa spot tak harus bayar. Tapi suasana sholat Ied dan halal bi halal, seolah menghilangkan kebekuan tubuh yang menggigil diterpa angin musim dingin dan gerimis menusuk kulit.
Lontong opor, snack, minuman panas dan keramahan Konjen, ibu Dewi Savitri Wahab, menghangatkan halal bi halal yang disiapkan oleh staf KJRI dengan predikat nyaris sempurna. Ini benar-benar mengakrabkan pagi hari yang tak bersahabat itu. Singkat kisah, meski Lebaran di dunia yang jauh dan berbeda, nuansa Indonesia tetap bermukim di sana. Ia menghapus kebekuan udara yang mengigit kami di pagi yang tak bersahabat. Ia diganti dengan nuansa Indonesia yang guyub, tak berbatas dan penuh canda.
Tak lengkap kalau saya tak menulis tentang misa minggu di Melbourne, 2 hari setelah Idulfitri. Diawali dengan “tersesat” masuk Gereja Katedral St Pauls, yang ternyata denominasi Gereja Katolik Anglikan. Meski ritual misa nyaris sama, sorenya kami mengikuti misa di Gereja Katolik (Roma) di Gereja St. Francis.
Sore itu ada misa dengan Bahasa Indonesia yang dipimpin oleh Romo Michael. Pastur Indonesia keturunan Flores yang sedang bertugas di sana. Dua ratus limapuluh orang Indonesia mengikuti misa, bak sedang berada di Gereja Mateus Bintaro saja. Kembali nuansa Indonesia hadir dan menghangatkan kota Melbourne yang dingin. Bagi saya, Indonesia selalu ngangeni. (selalu membuat kangen), bagaimana indahnya dan megahnya sebuah kota seperti Melbourne. Mungkin itulah tipikal manusia pesisir Jawa, seperti saya.
Masih banyak pengalaman yang menakjubkan di kota jelita seperti Melbourne. Sebut saja “keajaiban” melihat Little Penguin berparade setiap waktu magrib di pantai Phillip Island. Pesta kembang api yang konon disumet setiap Jumat malam di Pantai Docklands. Opera The Lion King yang manggung setiap malam dan selalu sold out di Regent Theatre. Belum lagi sistem transportasi kota yang cangkih dan integratif, membuat iri penduduk Jakarta yang lalu-lintasnya umeg dan semrawut, seperti keroyokan semut di atas serpihan gula-gula yang terjatuh di bawah meja makan.
Tapi, tidak semua Melbourne menyenangkan. Suhu dingin di kala winter adalah yang pertama. Berjajarnya pengemis dan gelandangan di pinggir jalan pusat kota, adalah yang kedua. Mahalnya harga makanan dan minuman di antara kota-kota besar dunia, menjadi item ketiga.
Semula saya menduga itulah sebabnya mengapa Melbourne didominasi baju warna hitam. Entah mengapa, hitam meraja-lela dipakai manusia yang lalu-lalang di trotoar tepi jalan-jalan utama. Dipakai laki-laki atau perempuan, tua atau muda, orang asli Australia atau pendatang. Saya tak tahu persis apa jawabnya. Sampai kini, saya tak tahu jawabnya. Mengapa lambang duka menjadi kegemaran di sana. Tak juga Jessica Hart bisa menjawabnya.
“Melbourne is very sophisticated and edgy - we wear a lot of black. Things are lightening up a little bit, but truly, everything looks good in black”.
(Jessica Hart – Penulis terkenal, asal Inggris)
PM. Susbandono - 2015
PK
Hanya 3 film India yang saya tonton. Pertama adalah “My Name is Khan”. Yang kedua, “3 Idiots”, dan yang terakhir, “PK”.
Kebetulan ketiganya bagus, jauh dari tontonan drama percintaan India, yang biasa diwarnai tari-menari dan menyanyi, sambil kadang-kadang ngumpet di belakang tiang atau pohon besar.
Sama dengan 2 yang pertama, PK adalah film yang luarbiasa. Saya memberi nilai “sangat bagus”. Meski penuh tawa, saya dipaksa berpikir, terutama tentang hubungan manusia dengan Penciptanya, komunikasi yang terjalin dan posisiNya dalam hidup saya. Itulah mengapa PK saya sebut kisah yang komplet.
PK adalah film drama komedi, tentang seorang alien yang datang dari luar angkasa untuk melakukan penelitian di bumi. Celakanya, remote control yang dikalungkan di lehernya, yang harus digunakan untuk memanggil pesawat luar angkasa, bila tugas sudah selesai, dicuri “makhluk bumi”, yang disebut manusia. Sesaat setelah tiba di sebuah dataran antah berantah, yang bisa jadi, di India sana, sang alien langsung mendapat musibah.Tanpa alat itu, dia menjadi luntang-lantung, tak jelas juntrungannya, entah mau apa. Tugas meneliti kacau balau, sementara kemungkinan kembali ke “rumah”-nya, nun jauh di sana, tertutup sudah. Dia menjadi gelandangan, yang harus belajar bagaimana bergaul dangan manusia, penghuni bumi yang “aneh”, tentunya versi makhluk luar angkasa.
Jalannya terhuyung-huyung, perilakunya gamang, bahkan saat-saat pertama, dia tak bisa bicara dan tak berbaju. Orang menamakannya “Pee-Kay”, kemudian disingkat PK, bahasa Hindi yang berarti limbung. Singkatnya, PK menjadi “orang aneh” di kalangan manusia “normal” di bumi ini. Bagi PK, percakapan bumi tak dimengerti. Penutup badan, menjadi sesuatu yang menggelikan, dan yang paling mengherankan, cara berpikir manusia sungguh tak dapat diterima akal-sehatnya. Wajar, kalau PK berpikir demikian. Bayangkan saja, ada orang yang tiba-tiba dewasa, tanpa melalui proses pertumbuhan dan pemahaman seperti yang dilalui manusia “normal” lainnya. “Hum bahut hi confusiya gaya hoon”. Saya sungguh bingung dengan semua ini. Atau, rasa kesalnya, saat “alat sakti”, yang sangat penting, dicuri orang. “Humra gola par log jhoot nahi bolta hai”. Orang di planetku tak ada yang berbohong (dan mencuri).
Selain baju didapat dari mencuri milik pasangan yang sedang bercinta di dalam mobil, bahasa manusia akhirnya bisa dikuasai. Semua usaha itu dilakukannya agar bertahan hidup. PK yang mempunyai kehebatan berkomunikasi dengan hanya berpegangan tangan, lambat laun menjadi manusia bumi seperti kita. Tentunya dengan pemahaman “budaya” manusia yang terbatas.Meski terkesan dipaksakan, ada anak-cerita yang membawa penonton hanyut dalam luapan emosi yang mengharukan. PK masih film India. Kisah percintaan antara Jaggu, si cantik jelita dari Delhi, beragama Hindu, dengan Sarfaraz, pemuda tampan asal Pakistan, Muslim, akhirnya harus putus karena beda bangsa dan agama. (Meski akhirnya nyambung kembali di akhir cerita)
Kisah cinta yang indah dengan setting kota Brussels yang romantis, membuat kisah putus cinta semakin dramatis. Jaggu patah hati dan pulang kampung. Kemudian bertemu PK dan menjadi kawan curhat. Pertemanan yang malahan menjadi pintu masuk bagaimana pesan dari film ini ingin disampaikan kepada penonton. Persahabatan yang menguak siapa sebenarnya PK dan konflik yang dialami saat berada di bumi yang “aneh” ini. Dari sinilah kemudian spirit dari film ini mulai dapat diikuti dan enak ditonton.
Saat mengeluh soal remote-nya yang hilang, PK mendapat banyak petuah. Isinya mirip. “Berbicaralah kepada Tuhan, hanya Dia yang dapat menolong kamu”. Dan berbicara dengan Tuhan, hanya bisa melalui “agama”. Dan dalam agama, “pemimpin umat” menjadi kunci yang sangat menentukan.
PK kena batunya, karena pemahaman-pemahaman yang kontradiktif dari agama-(agama) membuat dia semakin bingung. Bagi PK, ternyata semua itu tidak menyelesaikan masalah, mereka malah memperkeruh. Hebatnya, PK menyajikan adegan-adegan lucu, orisinil dan tidak membodohi. Dialognya cerdas, langsung menusuk kalbu. Menuntut penonton berpikir keras. Lucu tapi berkelas, perlu berpikir sebentar, sebelum bisa tertawa lepas. Beberapa malah terkesan satire bagi praktek-praktek agama. PK menjuluki mereka “call the wrong number”. Menyindir para pemuka umat yang sering keluar dengan pernyataan-pernyataan yang tak masuk akal dan menjadi saluran yang keliru. Wajar, PK baru mengenal agama-agama dalam waktu singkat dan seketika.
Tujuan PK hanya satu. Menemukan kalungnya, yang dicuri oleh makhluk jahat dari bumi, agar dia kembali ke rumahnya. PK “terperosok”, karena orang mengenalkan pada “cara menemukan kalung”, melalui “call the wrong number”. Jalan itu banyak, dengan jalur yang berbeda. Beberapa diantaranya malah berlawanan. Simak salah satu kalimatnya yang bernada bingung. “Yang satu dilarang membunuh sapi, yang lain malah menyuruh”. Jelas suatu ekspresi ketak-tahuan yang sah, yang mungkin juga dimiliki banyak (sekali) manusia, karena pemahamannya yang instan.
Masih banyak konflik akal sehat yang ditangkap PK. Mengharukan, ketika dia bingung karena tak menemukan tanda, bagaimana seseorang kok bisa mengaku beragama tertentu, sementara orang lain beragama lain. “Who is Hindu, who is Muslim…..show me where is the stamp….You guys have made this difference and not God….and this is the most dangerous wrong number of this
planet”.
Atau, “perintah” membangun kuil (pengertiannya meluas ke rumah-rumah ibadah lainnya) agar tambah kaya, sementara banyak sesama yang hidup menderita. Wanita tak boleh sekolah. Memuja batu dengan bunga dan olesan cairan berwarna agar lulus ujian. Niat baik PK membawakan wine untuk minuman Tuhan, malah membuahkan kecaman. PK dikejar-kejar hendak dibunuh karena dianggap menghujat.
Masih banyak sindiran-sindiran PK yang memaksa “makhluk bumi” untuk introspeksi karena menempatkan kepentingan dirinya, di atas Tuhan dan sesama. PK yang lugu, naif dan lurus-lurus saja, pantas menjadi common enemy, dan beberapa kali nyaris dihakimi masa.
Untung, film yang bernada cynical ini dikemas dengan selimut humor yang tinggi. “The communication system of this planet for talking to God, has become totally useless”. PK melihat usahanya menghubungi Tuhan, selalu gagal. Dengan menggunakan istilah “sistem komunikasi” yang katanya semakin canggih, PK menyindir bahwa “Kehebatanmu tak ada apa-apanya”. PK melihat dengan kacamata lain, karena justru “sistem” ini tidak jalan saat dibutuhkan. Kalungnya tak juga diketemukan.
Sepanjang 156 menit, penonton dibuat tertawa, kadang terharu, sambil sekali-kali tersenyum kecut, karena peluru membalik menghantam diri kita sendiri, langsung menuju tengah-tengah ulu hati. Tak perlu marah dengan sindiran halus ini, karena sebagian besar nyata. Yang harus keluar justru rasa malu dan buru-buru merenung agar timbul insight yang keluar dari dalam sana.
Satu untaian kalimat yang diucapkan PK, melekat dalam hati dan saya ingat sampai sekarang. Rasa penyesalan tiba-tiba muncul, karena itu memang mengenai “saya banget”. Mungkin juga “kita banget”.
“Akhirnya, saya tahu bahwa Tuhan ada dua. Pertama, Tuhan yang menciptakan kita. Kedua, tuhan yang kita ciptakan. Manusia lebih sering berhubungan dengan yang kedua. This is a call the wrong number”.
PM.Susbandono - 2015
Apa Hal Terbaik yang Ingin Anda Capai Tahun Ini?
Saya akan mulai tulisan pertama saya di website ini dengan mendorong setiap Anda untuk berani, paling tidak, berani mulai membayangkan dulu saja tentang apa hal – hal terbaik yang ingin Anda lakukan dan ingin Anda capai di tahun ini. Beranilah menentukan minimal, satu hal dulu saja yang Anda ingin ciptakan, kerjakan, wujudkan, yang selama ini mungkin Anda bayangkan terlalu mustahil untuk Anda kerjakan. Apakah itu memulai suatu bisnis baru? Apakah melunasi hutang Anda? Apakah itu berkeliling dunia? Mulai melukis? Mempelajari Bahasa asing? Atau hal – hal lain yang menurut Anda mungkin terlalu ambisius atau terlalu tinggi dalam khayalan… Menjadi seorang pemimpin yang terkenal mungkin.
Apapun yang Anda berani mulai bayangkan dalam pikiran Anda sekalipun hal itu sepertinya terlihat mustahil bagi Anda saat ini merupakan suatu awal dari sebuah proses dasar atau fundamental dalam perkembangan diri Anda. Berani membayangkan dan mulai merasakan seolah – olah Anda sudah melakukan dan berhasil mencapai apa yang Anda inginkan membuat Anda melepaskan sesuatu dalam diri Anda yang jauh melampaui segala keterbatasan Anda saat ini. Jauh melampaui segala kemungkinan yang Anda lihat dengan mata jasmani Anda saat ini.
Itulah kekuatan sebuah pikiran! Ya, pikiran Anda!
Pikiran Anda memiliki imajinasi dan daya cipta yang luar biasa.
Ketahuilah bahwa setiap manusia memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke depan, melampaui keadaan dirinya saat ini. Dia mampu membayangkan sesuatu yang didorong oleh keinginannya untuk memiliki kehidupan, kondisi/keadaan yang jauh lebih baik daripada yang sekarang sedang dijalaninya. Demikian juga dengan Anda. Langkah pertama yang perlu Anda lakukan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dari apapun keadaan Anda saat ini adalah mulai melihat diri Anda menjadi orang yang lebih baik tersebut, dimana diri Anda sedang menjalani kehidupan atau kondisi yang lebih baik dalam pikiran Anda. Ciptakan gambaran orang dan kondisi tersebut dengan jelas dalam pikiran Anda. Seperti apa Anda dalam kehidupan yang lebih baik itu kelihatannya, seperti apa rasanya menjadi diri Anda dalam versi yang lebih baik, dan seperti apa diri Anda terdengar dalam versi yang lebih baik tersebut.
Langkah kedua adalah mengambil tindakan – tindakan atau langkah – langkah yang diperlukan untuk mulai mewujudkan keadaan yang Anda inginkan tersebut. Ambil langkah – langkah kongkrit dan nyata selangkah – demi selangkah untuk semakin “mendekat” kepada kondisi yang ingin Anda wujudkan. Ajak dan ijinkan diri Anda yang sekarang untuk melakukan langkah – langkah nyata tersebut. Berikan diri Anda yang sekarang dorongan dan semangat untuk membangun kebiasaan demi kebiasaan baru yang dibutuhkan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik yang Anda idam – idamkan.
Langkah ketiga adalah memaksimalkan seluruh fungsi panca indera Anda untuk dapat melihat, mendengar, merasa, mencecap dan membaui setiap keputusan dan langkah yang Anda ambil dan lakukan sudah sesuai dengan arah yang Anda ingin capai atau belum, semakin membawa Anda mendekat kepada gol atau tujuan hidup Anda atau malah membawa Anda semakin menjauh dari tujuan Anda tersebut.
Jika ternyata Anda temukan bahwa keputusan, langkah, dan kebiasaan yang Anda lakukan masih belum maksimal apalagi malah membawa Anda menjauh dari tujuan Anda, maka langkah keempat yang Anda harus lakukan adalah fleksible dalam mengubah arah keputusan Anda, langkah – langkah Anda, dan terutama kebiasaan Anda. Baik itu kebiasaan dalam berpikir, berkata – kata dan bertingkah laku. Semuanya harus membawa Anda mendekat kepada tujuan Anda sampai Anda berhasil mewujudkan apa yang ingin Anda jadikan lebih baik di tahun 2020 ini. Apakah itu kesehatan Anda? Keuangan Anda? Bisnis Anda? Relationship Anda? Spiritual Anda? Keluarga Anda? Bahkan apalagi jika itu sesuatu yang sama sekali baru pertama kali ingin Anda wujudkan, bangunlah diri Anda sedemikian rupa dengan melakukan terus – menerus keempat langkah proses diatas dan melengkapinya dengan langkah kelima yaitu senantiasa menjaga diri Anda dalam keadaan atau kondisi yang paling terbaik dalam melakukan segala sesuatunya. Siap dengan segala sumber daya yang Anda miliki untuk mengatasi setiap tantangan yang mungkin muncul di hadapan Anda, baik itu kondisi fisik maupun psikis.
Selamat melakukan, dan doa saya bagi Anda semua, semoga di tahun 2020 ini Anda mengalami suatu perkembangan yang positif dalam pribadi Anda yang berdampak dalam seluruh area kehidupan Anda dan juga orang – orang di sekitar Anda yang Anda kasihi dan mengasihi Anda.
David Pratomo - 2020